Jumat, 05 September 2014

KONSEP KEBIJAKAN PUBLIK


2.1.            Tinjauan Teori

Penelitian menggunakan teori kebijakan publik, proses kebijakan publik, implementasi kebijakan, sertifikasi guru sebagai produk kebijakan publik, konsep evaluasi, sertifikasi guru sebagai kompensasi profesi, fungsi atau tujuan evaluasi publik, konsep pendidikan, dan konsep sertifikasi guru.

2.1.1.      Konsep Kebijakan Publik

Pada dasarnya ada perbedaan antara konsep “kebijakan”, “kebijaksanaan” dan “publik”. Kebijakan merupakan suatu rangkaian alternatif  yang sudah siap untuk dipilih berdasarkan prinsip-prinsip tertentu. Sedangkan kebijaksanaan berkenaan dengan suatu keputusan yang memperbolehkan sesuatu yang sebenarnya dilarang berdasarkan alasan-alasan tertentu seperti pertimbangan kemanusiaan, keadaan gawat, dan lain-lain. Sementara kata “Publik” merupakan kata serapan yang berasal dari bahasa inggris “public”, bahasa ini sudah digunakan bertahun-tahun oleh masyarakat bangsa Indonesia yang menyatakan bahwa public tersebut diidentikkan dengan masyarakat. Kata masyarakat dalam pengertian umum menyatakan semua kalangan umum yang ditujukan pada keseluruhan rakyat.
Kebijakan merupakan suatu hasil analisis yang mendalam terhadap berbagai alternatif yang bermuara kepada keputusan tentang alternatif terbaik. Sedangkan kebijaksanaan selalu mengandung makna melanggar segala sesuatu yang pernah ditetapkan karena alasan tertentu. Kebijaksanaan merupakan pengejawantahan aturan yang sudah ditetapkan sesuai situasi dan kondisi setempat oleh person penjabat yang berwenang. Publik merupakan padanan yang tepat jika disandingkan dengan administrasi untuk merujuk pada pengelolaan bersama kepentingan public. Dengan perbedaan definisi tersebut, maka seharusnya dalam implementasinya juga harus berbeda (Pasolong, 2013).
Berdasarkan definisi yang terdapat dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, Poerwadarminta (1984) kebijakan diartikan sebagai berikut:
Kebijakan adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak (pemerintah, organisasi, dan sebagainya); pernyataan cita-cita, tujuan, prinsip dan maksud sebagai garis pedoman untuk manajemen dalam usaha mencapai sasaran.

Menurut Nugroho (2003:7) “ kebijakan adalah suatu aturan yang mengatur kehidupan bersama yang harus ditaati dan berlaku mengikat seluruh warganya. Setiap pelanggaran akan diberi sanksi sesuai dengan bobot pelanggarannya yang dilakukan dan sanksi dijatuhkan didepan masyarakat oleh lembaga yang mempunyai tugas menjatuhkan sanksi.”
Berikut ini adalah pendapat Thomas Dye (1992:4) kebijakan publik adalah:
Segala sesuatu yang dikerjakan atau tidak dikerjakan oleh pemerintah, mengapa suatu kebijakan harus dilakukan dan apakah manfaat bagi kehidupan bersama menjadi pertimbangan tersebut yang mengandung manfaat yang besar bagi warganya dan berdampak kecil dan sebaliknya tidak menimbulkan persoalan yang merugikan, walaupun demikian pasti ada yang diuntungkan dan ada yang dirugikan, disinilah letaknya pemerintah harus bijaksana dalam menetapkan suatu kebijakan.

Chandler dan Plano (1982:10) “ mengatakan bahwa public policy is strategic use of reseorces to alleviate national problem or governmental concerns, yang berarti kebijakan publik adalah pemanfaatan sumber daya yang ada untuk mengatasi masalah pemerintah”.
Dapat disimpulkan bahwa kebijakan publik adalah  suatu aturan yang berlaku di masyarakat dan mengikat sehingga akan mendapatkan sanksi bagi para pelanggarnya yang dibuat oleh pemerintah untuk mengatasi masalah publik yang pembiayaannya diambil dari sumber daya negara. Kebijakan publik secara umum dapat dibedakan menjadi tiga tingkatan; (1) kebijakan umum, yaitu kebijakan yang menjadi pedoman atau petunjuk pelaksanaan baik yang bersifat positif maupun yang bersifat negatif yang meliputi keseluruhan wilayah atau instansi yang bersangkutan, (2) kebijakan pelaksanaan yaitu menjabarkan kebijakan umum. Untuk tingkat pusat, peraturan pemerintah tentang pelaksanaan undang-undang, (3) kebijakan teknis yaitu kebijakan operasional yang berada di bawah kebijakan pelaksanaan (Said Zainal, 2004).
Secara konseptual kebijakan publik dilihat dari Kamus Administrasi Publik Chandler dan Plano (1988) dalam (Widodo, 2013:38) mengatakan bahwa:
Kebijakan publik adalah pemanfaatan yang strategis terhadap sumber-sumber daya yang ada untuk memecahkan masalah publik atau pemerintah. Bahkan Chandler dan Plano beranggapan bahwa kebijakan publik merupakan suatu bentuk investasi yang kontinu oleh pemerintah demi kepentingan orang-orang yang tidak berdaya dalam masyarakat agar mereka dapat hidup dan ikut berpartisipasi dalam pemerintahan.

Menurut Dunn (2003:51). “Kebijakan publik adalah suatu rangkaian pilihan-pilihan yang saling berhubungan yang dibuat oleh lembaga atau pejabat pemerintah pada bidang-bidang yang menyangkut tugas pemerintahan, seperti pertahanan keamanan, energi, kesehatan, pendidikan, kesejahteraan masyarakat, kriminalitas dan perkotaan”.
Kebijakan publik adalah apapun yang dipilih pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan. Dye mengatakan bahwa pemerintah memilih untuk melakukan sesuatu maka harus ada tujuannya (objektifnya) dan kebijakan publik itu meliputi semua tindakan pemerintah, jadi bukan semata-mata merupakan pernyataan keinginan pemerintah atau pejabat pemerintah saja, seperti yang dikemukakan oleh Thomas (1981), Shfritz dan Russel (1997), mendefinisikan kebijakan publik dengan sederhana dan menyebut is whatever government dicides to do or not to do. Chandler dan Plano mengatakan bahwa apa yang dilakukan tersebut merupakan suatu isu politik (Pasolong, 2013).
Definisi kebijakan publik tersebut dapat dikatakan bahwa: (1) kebijakan publik dibuat oleh pemerintah yang berupa tindakan-tindakan pemerintah, (2) kebijakan publik harus berorientasi kepeda kepentingan publik, dan (3) kebijakan publik adalah tindakan pemilihan alternatif untuk dilaksanakan atau tidak dilaksanakan oleh pemerintah demi kepentingan publik.
Jadi idealnya suatu kebijakan publik adalah (1) kebijakan publik untuk dilaksanakan dalam bentuk riil, bukan untuk sekedar dinyatakan, (2) kebijakan publik untuk dilaksanakan atau tidak dilaksanakan karena didasarkan pada kepentingan publik itu sendiri. Karena pada umumnya kebijakan dapat dibedakan atas empat bentuk yaitu: (1) Regulatory, yaitu mengatur perilaku orang, (2) Redisributive, yaitu mendistribusikan kembali kekayaan yang ada, atau mengambil kekayaan dari yang kaya lalu memberikannya kepada yang miskin, (3) Distributive yaitu melakukan distribusi atau memberikan akses yang sama terhadap sumber daya tertentu, dan (4) Constituent, yaitu ditujukan untuk melindungi negara (Pasolong, 2013).

2.1.1.1.     Proses Kebijakan Publik
Proses dalam rangka memecahkan masalah suatu masalah-masalah publik antara lain: (1) Penetapan agenda kebijakan, (2) Adopsi kebijakan, (3) Implementasi kebijakan, (4) Evaluasi kebijakan seperti yang dikemukakan oleh Dunn (1994), James Anderson (1979) sebagai pakar kebijakan publik menetapkan proses kebijakan sebagai berikut: (1) Formulasi masalah, (2) Formulasi kebijakan, (3) Penentuan kebijakan, (4) Implementasi kebijakan, (5) Evaluasi kebijakan, sedangkan AG.Subarsono (2004) mengatakan bahwa proses kebijakan publik adalah serangkaian intelektual yang dilakukan dalam proses kegiatan yang bersifat politis. Aktivitas politis tersebut mulai dari (1) Penyusunan agenda, (2) Formulasi kebijakan, (3) Adopsi kebijakan, (4) Implementasi kebijakan, dan (5) Evaluasi Kebijakan (Pasolong, 2013).
Berikut ini adalah pendapat Indiahono (2009:140) tentang proses politik kebijakan adalah:
Sebuah proses melegitimasi kebijakan publik sebagai solusi masalah publik dengan menyandarkan pada proses pembahasan kebijakan di lembaga politik yang diakui sebagai representasi publik. Adapun proses kebijakannya adalah sebagai berikut:
a.    Pernyataan kebijakan
Pernyataan kebijakan adalah pernyataan pemerintah atas suatu kebijakan yang diambil untuk menyelesaikan atau terkait dengan masalah publik tertentu. Pernyataan kebijakan ini biasanya berupa peraturan yang telah ditetapkan sebagai sumber hukum atau acuan baku yang disepakati secara bersama-sama. Setiap pernyataan kebijakan harus mendapatkan legitimasi pembenarannya secara hukum atau harus sesuai dengan tata peraturan/perundang-undangan yang berlaku.
 b.    Implementasi kebijakan
Implementasi kebijakan menunjuk aktifitas menjalankan dalam ranah senyatanya, baik yang dilakukan oleh organ pemerintah ataupun para pihak yang telah ditentukan dalam kebijakan. Implementasi kebijakan adalah tahap yang penting dalam kebijakan. Tahap ini menentukan apakah kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah benar-benar aplikabel dilapangan dan berhasil untuk mengasilkan output dan outcomes seperti yang telah direncanakan.
c.    Evaluasi kebijakan
Evaluasi kebijakan publik adalah untuk menilai keberhasilan/ kegagalan kebijakan berdasarkan indikator-indikator yang telah ditentukan. Indikator-indikator untuk mengevaluasi kebijakan biasanya menunjuk pada dua aspek yaitu aspek proses dan hasil.

  Senada dengan apa yang dikatakan Indiahono, berikut ini adalah pendapat Nugroho (2011:505) menyatakan : Bahwa proses sebuah kebijakan adalah: melalui tahapan sebagai berikut :
1.    Perumusan kebijakan
Perumusan kebijakan publik adalah inti dari kebijakan publik karena disini dirumuskan batas-batas kebijakan itu sendiri. Kebijakan publik senantiasa ditujukan untuk melakukan intervensi terhadap kehidupan publik untuk meningkatkan kehidupan publik itu sendiri.
2.    Implementasi kebijakan
Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya. Tidak lebih dan tidak kurang untuk mengimplementasikan kebijakan publik, ada dua pilihan langkah yang ada, yaitu langsung mengimplementasikannya dalam bentuk program atau melalui formulasi kebijakan derivate atau turunan dari kebijakan publik tersebut. Kebijakan publik dalam UU atau Perda adalah jenis kebijakan publik yang memerlukan penjelas atau yang sering diistilahkan sebagai peraturan pelaksanaan.
3.    Evaluasi kebijakan
Sebuah kebijakan publik tidak bisa langsung dilepas begitu saja. Kebijakan harus diawasi, dan salah satu mekanisme tersebut evaluasi kebijakan. Evaluasi biasanya ditujukan untuk menilai sejauh mana keefektifan kebijakan publik guna dipertanggungjawabkan kepada konstituennya. Sejauh mana tujuan dicapai. Evaluasi diperlukan untuk melihat kesenjangan antara “harapan” dan “Kenyataan”.

 Program sertifikasi guru merupakan suatu kebijakan atau keputusan pemerintah yang dibuat dan dipilih oleh pemerintah untuk mengatasi masalah-masalah yang terjadi  dalam dunia pendidikan dan dijalankan sesuai dengan peraturan yang berlaku yang sangat terikat bagi publiknya yaitu para pelaksana program dan sasaran program agar sesuai dengan tujuan yang diharapkan dengan menggunakan tiga kegiatan pokok yaitu perumusan kebijakan, implementasi kebijakan, dan evaluasi kebijakan, tahapan kebijakan publik dapat dilihat pada gambar 2.1. sebagai berikut: (Terlampir)
 
2.1.1.1.     Implementasi Kebijakan
Implementasi kebijakan publik merupakan salah satu tahapan dari proses kebijakan publik (public policy process) sekaligus studi yang sangat crucial. Bersifat crucial karena bagaimanapun baiknya suatu kebijakan, kalau tidak dipersiapkan dan direncanakan secara baik dalam implementasinya, maka tujuan kebijakan tidak akan bisa diwujudkan.  Demikian pula sebaliknya, bagaimanapun baiknya persiapan dan perencanaan implementasi kebijakan, kalau tidak dirumuskan dengan baik maka tujuan kebijakan juga tidak akan bisa diwujudkan. Untuk menghendaki tujuan kebijakan dapat dicapai dengan baik, maka bukan saja pada tahap implementasi yang harus dipersiapkan dan direncanakan dengan baik, tetapi juga tahap perumusan atau pembuatan kebijakan juga telah diantisipasi untuk dapat diimplementasikan (Widodo,2013).
Dalam Kamus Webster Wahab (dalam Widodo, 2013 : 86) mengatakan bahwa:
“ Implementasi diartikan sebagai to provide the means for carrying out (menyediakan sarana untuk melaksanakan sesuatu) to give practical effect to (menimbulkan dampak/akibat terhadap sesuatu). Implementasi berarti menyediakan sarana untuk melaksanakan suatu kebijakan dan dapat menimbulkan dampak/akibat terhadap sesuatu tertentu.”
Menurut Jones (dalam Widodo, 2013 : 86) mengemukakan bahwa implementasi adalah:
Sebagai getting the job done and doing it. Pengertian tersebut merupakan pengertian yang sangat sederhana. Akan tetapi, dengan kesederhanaan rumusan seperti itu tidak berarti implementasi kebijaksanaan merupakan proses kebijakan yang dapat dilakukan dengan mudah., Menurut Jones, pelaksanaannya menuntut adanya beberapa syarat, antara lain adanya orang atau pelaksana, uang, dan kemampuan organisasional, yang dalam hal ini sering disebut resources. Oleh karena itu, merumuskan batasan implementasi sebagai a process of getting additional resources so as to figure put what is to be done. Dalam hal ini implementasi merupakan proses penerimaan sumber daya tambahan sehingga dapat menghitung apa yang harus dikerjakan, mengenai implementasi tersebut tidak kurang dari suatu tahap kebijakan yang paling tidak memerlukan dua macam tindakan yang berurutan. Pertama, merumuskan tindakan yang akan dilakukan, kedua, melaksanakan tindakan apa yang telah dirumuskan tersebut.

Menurut Goggin (dalam Pasolong, 2013 : 58) tentang implementasi mengemukakan bahwa:
Implementasi generasi pertama dapat diamati dari karya Pressman dan Wildavsky (1973), yang melihat implementasi sebagai bentuk pelaksanaan yang sangat bersifat top down dimana penilaiannya ditentukan dari seberapa jauh terjadi deviasi terhadap desain yang telah ditetapkan. Generasi kedua, merupakan reaksi terhadap kelemahan generasi pertama, yang bersifat bottom up dimana eksistensi jaringan kerja para aktor, termasuk tujuan, strategi dan aksi mereka ikut diperhitungkan.atau dengan kata lain, sebagaimana di ungkapkan Linder dan Peters (1986), dan juga Nakamura (1987), Desain program/kebijakan harus mempertimbangkan kebutuhan dan nilai yang dianut para implementor, karena itu adaptasi dan diskresi dalam implementasi seharusnya dilihat sebagai suatu yang seharusnya atau diinginkan. Implementasi generasi ketiga, pusat perhatian diarahkan pada desain kebijakan dan jaringan kebijakan serta implemetasinya pada pelaksanaan dan keberhasilannya.

Menurut Goggin (dalam Pasolong, 2013 : 60) tentang kegagalan program bahwa:
Kegagalan dalam pelaksanaan dilihat sebagai produk dari desain yang kurang mempertimbangkan berbagai faktor yang bakal berpengaruh dalam pelaksanaan. Sedangkan menurut Gow dan Maross (1990) “Dalam implementasi terdapat berbagai hambatan antara lain (1) hambatan politik, ekonomi, dan lingkungan, (2) kelemahan institusi, (3) ketidakmampuan sumber daya manusia di bidang teknis dan administrasi, (4) kekurangan dalam bantuan teknis, (5) kurangnya desentralisasi dan partisipasi, (6) pengaturan waktu (timing), (7) sistem informasi yang kurang mendukung, (8) perbedaan agenda tujuan antara aktor, (9) dukungan yang berkesinambungan.

Semua hambatan ini dapat dengan mudah dibedakan atas hambatan dari dalam dan dari luar seperti yang dikemukakan oleh Menurut Turner dan Hulme (dalam pasolong, 2013 : 59) mengatakan bahwa hambatan dari dalam dapat dilihat dari ketersediaan dan kualitas input yang digunakan seperti sumber daya manusia, struktur organisasi, informasi, sarana dan fasilitas yang dimiliki, serta aturan, sistem dan prosedur yang harus digunakan, dan hambatan dari luar dapat dibedakan atas semua kekuatan yang berpengaruh langsung ataupun tidak langsung kepada proses implementasi itu sendiri, seperti peraturan atau kebijakan pemerintah, kelompok sasaran, kecenderungan ekonomi, politik, kondisi social budaya dan sebagaianya.
Donald S. Van Mater dan Carl E.Va (dalam Widodo, 2013 : 86) menguraikan batasan implementasi adalah:
Policy implementation encompasses those actions by public and private individuals (orgroups) that are directed at the achievement of objectives set forth in prior policy decisions. The include both one time efforts to transform decisions into operational terms, as well as continuing efforts to aachieve the large and small changes mandated by policy decisions. Implementasi kebijakan menekankan pada sutu tindakan, baik yang dilakukan oleh pihak pemerintah maupun individu (atau kelompok) swasta yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam suatu keputusan kebijakan sebelumnya. Pada suatu saat tindakan-tindakan ini, berusaha mentransformasikan keputusan-keputusan menjadi pola-pola ooperasional serta melanjutkaan usaha-usaha tersebut untuk mencapai perubahan, baik besar maupun kecil yang diamanatkan oleh keputusan-keputusan kebijakan tertentu.

Hakikat utama implementasi kebijakan adalah memahami apa yang seharusnya terjadi sesudah suatu program dinyatakan berlaku dan dirumuskan. Pemahaman yang mencakup usaha-usaha untuk mengadministrasikannya dan untuk menimbulkan dampak nyata pada masyarakat atau kejadian-kejadian. Seperti yang dikemukakan oleh Mazmanian dan Sabatier (dalam Widodo, 2013:87) mengemukakan bahwa:
This definition encompasses not only the behavior of the administrative body which has responsibility for the program and the compliance of target groups, but also the web of direct and indirect political,economic, and social forces that bear intended and unintended-of program”. Definisi tersebut menekankan tidak hanya melibatkan perilaku badan-badan administrative yang bertanggung jawab untuk melaksanakan program dan menimbulkan ketaatan pada diri kelompok sasaran, tetapi menyangkut juga jaringan kekuatan politik, ekonomi, dan social yang langsung atau tidak langsung dapat mempengaruhi perilaku dari semua pihak yang terlibat dan akhirnya berdampak pada yang diharapkan (intended) maupun yang tidak diharapkan (unintended) dari suatu program.
 
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa implementasi kebijakan (Policy implementation) merupakan suatu proses yang dinamis, dimana pelaksana kebijakan melaksanakan aktivitas atau kegiatan, sehingga pada akhirnya mendapatkan suatu hasil yang sesuai dengan tujuan dan sasaran kebijakan itu sendiri. Implementasi kebijakan juga merupakan sesuatu hal yang sangat  penting dalam keseluruhan tahapan kebijakan, karena melalui tahap ini keseluruhan prosedur kebijakan dapat dipengaruhi tingkat efektifan atau keberhasilan untuk mencapai tujuan kebijakan tersebut (Sugandi, 2011).
Menurut Udoji (dalam Solichin, 2005:59)  tentang Pelaksanaan kebijakan adalah
“Sesuatu yang penting, bahkan mungkin jauh lebih penting dari pembuatan kebijakan. Kebijakan-kebijakan akan hanya berupa impian atau rencana yang bagus, yang tersimpan rapi dalam arsip kalau tidak diimplementasikan”. (The execution of policies is as important if not more important that policy-making. Policies will remain dreams or blue prints file jackets unless the are implemented).


2.1.1.           Sertifikasi Guru Sebagai Produk Kebijakan Publik
Menurut Nugroho (2008:36), Kebijakan pendidikan (Education policy) adalah kebijakan publik di bidang pendidikan. Wikipedia menyebutkan bahwa kebijakan pendidikan berkenaan dengan kumpulan hukum atau aturan yang mengatur pelaksanaan sistem pendidikan, yang mencakup didalamnya tujuan pendidikan dan bagaimana mencapai tujuan tersebut. Selengkapnya dalam Ensiklopedia Wikipedia disebutkan demikian:
“Education policy refers to the collection of laws or rules that govern the operation of education system. It seaks to answer question about the purpose of education, the objectives (societal and personal) that it is designed to attain, the method for attaining them and the tools for measuring their success or failure”.
Sebagaimana dikemukakan oleh Mark Olsen, John Codd dan Anne-Marie O’Neil (2000), kebijakan pendidikan merupakan kunci bagi keunggulan, bahkan eksistensi bagi bangsa-bangsa dalam persaingan global, sehingga kebijakan pendidikan perlu mendapatkan prioritas utama dalam era globalisasi. Salah satu argument utamnya adalah bahwa globalisasi membawa nilai demokrasi. Demokrasi yang memberikan hasil adalah demokrasi yang didukung oleh pendidikan. Lebih lengkapnya, dikatakan oleh Mark Olsen et,al (2000):
…Education policy in the twenty-first century is the key to global security, sustainability and survival…Education policies are central to such global mission…A deep and robust democracy at national level require strong civil society based on norms of trust and active response citizenship and that education is central to such a goal. Thus, the strong education state is necessary to sustain democracy at the national level so that strong democratic nation-states can buttress forms of international governance and ensure that globalization becomes a force for global sustainability and survival… .(Nugroho, 2008).

Definisi kebijakan publik yang banyak diikuti adalah definisi Thomas R. Dye (1995) yang menyatakan bahwa kebijakan publik sebagai segala sesuatu yang dikerjakan atau tidak dikerjakan pemerintah, mengapa mereka melakukan atau tidak melakukan sesuatu, dan hasil kebijakan yang membuat sebuah kehidupan bersama tampil berbeda. Lebih jelasnya Dye (dalam Nugroho, 2008:32) mengatakan:
Public policy is whatever government chooses to do or not to do. Government does many things. Note that we are focusing not only on government action but also on government in action, that is, what government chooses not to do. We contend that government in action can have just as great an impact an society as government action. Public policy is what government do, why they do it and what different it makes.

Begitu juga sertifikasi guru sebagai sebuah kebijakan publik dalam ranah pendidikan adalah sebuah pilihan yang dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Menurut JE. Hosio (dalam Rohman, 2010:2) mengatakan :
Kebijakan pendidikan (Education Policy) adalah keseluruhan proses dan hasil perumusan langkah-langkah strategis pendidikan yang dijabarkan dari visi, misi pendidikan, dalam mewujudkan tercapainya tujuan pendidikan dalam suatu masyarakat untuk kurun waktu tertentu. Wujud dari kebijakan pendidikan ini biasanya berupa undang-undang pendidikan, instruksi presiden, peraturan pemerintah, keputusan pengadilan, peraturan menteri, dan sebagainya menyangkut pendidikan.

Berikut ini adalah pendapat menurut Rohman (2010:5) tentang pemecahan masalah pendidikan adalah:
Secara teoritik, proses pemecahan atas masalah melalui kebijakan dapat dilaksanakan secara sistematik pragmatik; namun secara empiris sering kali berjalan kurang efektif. Efektifitas kebijakan pendidikan selama ini berangsung tanpa evaluasi dan monitoring. Salah satu penyebabnya adalah sulitnya mengendalikan perilaku birokrasi pengelola kebijakan pendidikan. Untuk lebih jelasnya, tentang siklus pemecahan masalah pendidikan dapat dilihat pada gambar 2.2. berikut: (Terlampir)

2.1.1.1.     Sertifikasi Guru Sebagai Kompensasi Profesi
Menurut Andrew E. Sikula (1981) dalam (Mangkunegara, 2011:83) mengemukakan bahwa:
The process of wage or salary administration (or,”compensation” as it is sometimes called) involves the weighing or balancing of accounts. A compensation is anything that constitutes or is regarded as an equivalent or recompense. In the employment world, financial rewards are the compensation resources provided to employees for the return of their services. The terms remuneration”wage”, and “salary” also are used to describe this financial arrangement between employers and employees. A remuneration is a reward, payment, or reimbursements on accasion also may be nonfinancial in nature. Remuneration are usually in the form of comprehensive pay concepts than are ideas of salary and wage that normally include a financial but not a nonfinancial dimension.

Berdasarkan pendapat Andrew itu dapat dikemukakan bahwa proses administrasi upah atau gaji (kadang-kadang disebut kompensasi) melibatkan pertimbangan atau keseimbangan perhitungan. Kompensasi merupakan sesuatu yang dipertimbangkan sebagai suatu yang sebanding, dalam kepegawaian, hadiah yang bersifat uang merupakan kompensasi yang diberikan kepada pegawai sebagai penghargaan dari pelayanan mereka.
Menurut Mansur Muslich (2007:5) tentang kesejahteraan guru menyatakan bahwa:
Melihat nasib guru saat ini sangat memprihatinkan, pemerintah ingin memberikan reward berupa pemberian tunjangan profesional yang berlipat sesuai dengan gaji pokok yang diterima. Dengan harapan kedepan adalah tidak ada lagi guru yang bekerja mencari objekan diluar dinas karena kesejahteraannya sudah terpenuhi. Akan tetapi syaratnya tentu saja guru harus lulus ujian sertifikasi.

Program sertifikasi diharapkan guru kedepan menjadi pendidik yang professional, yaitu yang berpendidikan minimal kualifikasi sarjana (S1) atau diploma empat (D-IV) dan memiliki kompetensi sebagai agen pembelajaran yang dibuktikan dengan pemilikan sertifikat pendidik setelah dinyatakan lulus uji kompetensi. Atas profesi tersebut, guru berhak mendapatkan imbalan (reward) berupa tunjangan profesi dari pemerintah sebesar satu kali gaji pokok. Guru yang mempunyai sertifikat pendidik dianggap sebagai guru yang professional (Muslich, 2007).
Menurut  Muslich, Jalal (2001), dan Tilaar (2003) mengungkapkan bahwa proses sertifikasi guru menuju profesionalisasi pelaksanaan tugas dan fungsinya harus dibarengi dengan kenaikan kesejahteraan guru. Kesejahteraan guru dapat diukur dari gaji dan insentif yang diperoleh. Gaji guru di Indonesia ini masih relative rendah dibandingkan dengan negara-negara lain. Rendahnya kesejahteraan guru sebaiknya selain berasal dari pemerintah pusat. Juga didukung oleh pemerintah daerah serta partisipasi masyarakat dan dunia usaha (Mulyasa, 2011:36).
2.1.1.2.     Konsep Sertifikasi Guru
Pemerintah Republik Indonesia melalui Departemen Pendidikan Nasional pada tahun 2007 telah melaksanakan Sertifikasi Guru secara bertahap dari 2,7 juta guru PNS di Indonesia. Sertifikasi merupakan perwujudan dari UU Nomor 14 Tahun 2005 dan PP 19 Tahun 2005 dengan tujuan untuk meningkatkan mutu tenaga pendidik di Indonesia. Rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia bukan diakibatkan oleh rendahnya input pendidikan, akan tetapi diakibatkan oleh proses pendidikan yang tidak maksimal dan rendahnya kualitas guru. Hal ini dapat dibuktikan masih banyak peserta didik yang tidak lulus UAN dengan standar nilai 4,26. Sebenarnya akar permasalahan minimnya proses yang dilakukan di sekolah. Proses yang tidak sempurna mengakibatkan kualitas produk yang tidak baik, proses pendidikan disekolah terletak di tangan guru, bagaimana melaksanakan pembelajaran, penguasaan materi, komunikasi yang dilakukan terhadap peserta didik, memberi motivasi belajar, menciptakan pembelajaran yang kondusif, mengelola pembelajaran jika kualitas yang dimiliki guru rendah. Dengan demikian pemerintah membuat kebijakan peningkatan kualitas guru dengan melakukan sertifikasi guru (Yamin, 2013:1).
Menurut Yamin (2013:2) “ Sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat pendidik untuk guru dan dosen atau bukti formal sebagai pengakuan yang diberikan kepada guru dan dosen sebagai tenaga profesional.”
Sertifikasi guru adalah proses pemberian sertifikat pendidik kepada guru. Sertifikat pendidik diberikan kepada guru yang telah memenuhi standar profesi guru. Sertifikat adalah dokumen resmi yang menyatakan informasi di dalam dokumen itu benar adanya. Sertifikasi adalah proses pembuatan dan pemberian dokumen tersebut. Guru yang telah mendapat sertifikat berarti  telah mempunyai kualifikasi mengajar seperti yang diterangkan di dalam sertifikat tersebut (Suyatno, 2008 : 2).
Menurut UU Nomor 14 Tahun 2005, pasal VIII (dalam Yamin, 2013: 2) menyatakan bahwa:
Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.” Kualifikasi akademik yang dimaksud sebagaimana pasal IX adalah melalui pendidikan tinggi program sarjana (S1) atau program diploma empat (D-IV). Guru yang lulus dalam ujian kompetensi berhak memperoleh “sertifikat”. Yang dimaksud Sertifikat pendidik adalah sertifikat yang ditandatangani oleh perguruan tinggi penyelenggara sertifikasi sebagai bukti formal pengakuan profesionalitas guru yang diberikan kepada guru sebagai tenaga professional.

Sertifikasi guru memiliki tujuan utama yaitu (1) menentukan kelayakan guru dalam melaksanakan tugas sebagai agen pembelajaran dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, (2) meningkatkan proses dan mutu hasil pendidikan, (3) meningkatkan martabat guru, dan (4) meningkatkan profesionalitas guru. Sedangkan manfaat sertifikasi guru adalah (a) melindungi profesi guru dari parktik-praktik yang tidak kompeten, yang dapat merusak citra profesi guru, (b) melindungi masyarakat dari pratik-partik pendidikan yang tidak berkualitas dan tidak profesional, dan (c) meningkatkatkan kesejahteraan guru (Yamin, 2013:3).
Menurut Dasuki (2011:27) tentang dasar hukum pelaksanaan sertifikasi guru dalam jabatan adalah:
a)   Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional
b)   Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen
c)    Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Operasional Pendidikan
d)   Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 Tentang Guru
e) Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 16 Tahun 2007 Tentang Standar Kualifikasi dan Kompetensi Guru
f)  Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 10 Tahun 2009 Tentang Sertifikasi bagi Guru dan Dosen
g)   Keputusan Mendiknas Tahun 2009 Tentang Pembentukan Konsorsium Sertifikasi Guru (KSG)
h) Keputusan Mendiknas Nomor 022/P/2009 Tentang Penetapan Perguruan Tinggi Penyelenggara Sertifikasi Guru dalam Jabatan
i)  Surat Edaran Ketua KSG Nomor 1357/D/T/2009 Tanggal 10 agusutus 2009 Tentang Kesepakatan Rapat KSG Tanggal 17 Juli 2009
j)  Surat Edaran Ketua KSG Nomor 1876/D/T/2009 Tanggal 19 Oktober 2009 Tentang Kesepakatan Rapat KSG Tanggal 14 Oktober 2009.

Menurut Suyatno (2008:27) mengemukakan bahwa ada 5 (lima) prinsip yang terkandung dalam program sertifikasi, yaitu:
1)   Dilaksanakan secara objektif, transparan, dan akuntabel.
Objektif yaitu mengacu kepada proses perolehan sertifikat pendidik yang impartial, tidak diskriminatif, dan memenuhi standar pendidikan nasional. Transparan yaitu mengacu kepada proses sertifikasi yang memberikan peluang kepada para pemangku kepentingan pendidikan untuk memperoleh akses informasi tentang proses dan hasil sertifikasi. Akuntabel merupakan proses sertifikasi yang dipertanggungjawabkan kepada pemangku kepentingan pendidikan secara administrative, financial, dan akademik.
2) Berujung pada peningkatan mutu pendidikan nasional melalui peningkatan guru dan kesejahteraan guru.
Artinya, sertifikasi guru merupakan upaya pemerintah dalam  meningkatkan mutu guru yang dibarengi dengan peningkatan kesejahteraan guru. Guru yang telah lulus uji sertifikasi akan diberi tunjangan profesi sebesar satu kali gaji pokok sebagi bentuk upaya pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan guru. Tunjangan tersebut berlaku, baik guru yang berstatus pegawai negeri sipil (PNS) maupun bagi guru yang berstatus non-pegawai negeri sipil (non-PNS/swasta). Dengan peningkatan mutu dan kesejahteraan guru maka diharapkan dapat meningkatkan mutu pembelajaran dan mutu pendidikan di Indonesia secara berkelanjutan.
3)   Dilaksanakan sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan.
Program sertifikasi pendidik dilaksanakan dalam rangka memenuhi amanat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasonal, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
4)   Dilaksanakan secara terencana dan sistematis.
Agar pelaksanaan program sertifikasi dapat berjalan dengan efektif dan efisien harus direncanakan secara matang dan sistematis. Sertifikasi mengacu pada kompetensi guru dan standar kompetensi guru. Kompetensi guru mencakup empat kompetensi pokok yaitu kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional. Sedangkan standar kompetensi guru mencakup kompetensi inti guru yang kemudian dikembangkan menjadi kompetensi guru TK/RA, guru kelas SD/MI, dan guru mata pelajaran. Untuk memberikan sertifikat pendidik kepada guru, perlu dilakukan uji kompetensi melalui penilaian portofolio.
5)   Jumlah peserta sertifikasi guru ditetapkan oleh pemerintah.
Untuk alasan keefektivitas dan efisiensi pelaksanaan sertifikasi guru serta penjaminan kualitas hasil sertifikasi, jumlah peserta pendidikan profesi dan uji kompetensi setiap tahunnya ditetapkan oleh pemerintah. Berdasarkan jumlah yang ditetapkan pemerintah tersebut, maka disusunlah kuota guru peserta sertifikasi untuk masing-masing Provinsi dan Kabupaten/Kota. Penyusunan dan penetapan kuota tersebut didasarkan atas jumlah data individu guru per Kabupaten/Kota yang masuk di pusat data Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan.

Berdasarkan Permendiknas Nomor 18 Tahun 2007, menyatakan bahwa sertifikasi bagi guru dalam jabatan dilaksanakan melalui uji kompetensi untuk memperoleh sertifikat pendidik. Uji kompetensi tersebut, dilakukan dalam bentuk penilaian portofolio, yang merupakan pengakuan atas pengalaman profesional guru dalam bentuk penilaian terhadap kumpulan dokumen yang mencerminkan kompetensi guru. Empat kompetensi guru yang harus dipahami oleh guru yaitu:  (1) Kompetensi pedagogik adalah kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik serta pemahaman terhadap peserta didik, dengan indikator esensial; memahami peserta didik dengan memanfaatkan prinsip-prinsip perkembangan kognitif dan kepribadian dan mengidentifikasi bekal-ajar awal peserta didik.       (2) Kompetensi profesional adalah merupakan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam, yang menckup penguasaan materi kurikulum mata pelajaran disekolah dan substansi keilmuan yang menaungi materinya, serta penguasaan terhadap struktur dan metodologi keilmuanya. (3) Kompetensi social adalah kemampuan guru untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan; (a) peserta didik, (b) sesama pendidik dan tenaga kependidikan, (c) orang tua/wali peserta didik dan masyarakat sekitar. (4) Kompetensi kepribadian adalah kemampuan personal yang mencerminkan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia. Sedangkan  komponen penilaian portofolio mancakup; (1) kualifikasi akademik, (2) pendidikan dan pelatihan, (3) pengalaman mengajar,  (4) perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, (5) penilaian dari atasan dan pengawas, (6) prestasi akademik, (7) karya pengembangan profesi, (8) keikutsertaan dalam forum ilmiah, (9) pengalaman organisasi di bidang kependidikan dan sosial, dan (10) penghargaan yang relevan dengan bidang pendidikan (Suyatno, 2008: 27).
Dokumen portofolio dinilai oleh LPTK penyelenggara sertifikasi guru yang dikoordinasikan Konsorsium Sertifikasi Guru (KSG). Unsur KSG terdiri atas LPTK, Ditejen Dikti, dan Ditjen PMPTK. Secara umum mekanisme pelasanaan sertifikasi guru dalam jabatan disajikan pada gambar 2.3. berikut: (Terlampir)
Bagan prosedur sertifikasi bagi guru dalam jabatan dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Guru dalam jabatan  peserta sertifikasi, menyusun dokumen portofolio dengan mengacu Pedoman Penyusunan Portofolio Guru.
2.  Dokumen Portofolio yang telah disusun kemudian diserahkan kepada Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota untuk diteruskan kepada Rayon LPTK Penyelengara sertifikasi untuk dinilai oleh asesor dari Rayon LPTK  tersebut.
3.  Rayon LPTK Penyelengara Sertifikasi terdiri atas LPTK Induk dan sejumlah LPTK Mitra.
4. Apabila hasil penilaian portofolio peserta sertifikasi dapat mencapai angka minimal kelulusan, maka dinyatakan lulus dan memperoleh sertifikat pendidik.
5. Apabila hasil penilaian portofolio peserta sertifikasi belum mencapai angka minimal kelulusan, maka berdasarkan hasil penilaian (skor) portofolio, Rayon LPTK merekomendasikan alternatif sebagai berikut:
·  Melakukan berbagai kegiatan yang berkaitan dengan profesi pendidik untuk     melengkapi kekurangan portofolio.
·    Mengikuti Pendidikan dan Pelatihan Profesi Guru (Diklat Profesi Guru atau DPG) yang diakhiri dengan ujian. Materi DPG mencakup empat kompetensi guru.
·    Lama pelaksanaan DPG diatur oleh LPTK peneyelenggara dengan memperhatikan skor hasil penilaian portofolio.
·      Apabila peserta lulus ujian DPG, maka peserta akan memperoleh Sertfikat Pendidik.
·    Bila tidak lulus, peserta diberi kesempatan ujian ulang dua kali, dengan tenggang waktu sekurang-kurangnya dua minggu. Apabila belum lulus juga, maka peserta diserahkan kembali ke Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota.
6.  Untuk menjamin standardisasi prosedur dan mutu lulusan maka rambu-rambu mekanisme, materi, dan sistem ujian DPG dikembangkan oleh Konsorsium Sertifikasi Guru (KSG).
7.    DPG dilaksanakan sesuai dengan rambu-rambu yang ditetapkan oleh KSG.

Menurut Dasuki (2011:59) mengemukakan bahwa dalam pelaksanaan sertifikasi guru mempunyai delapan badan pelaksana sertifikasi dan masing-masing memiliki tugas pokok sebagai berikut:
1.    Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas)
Mendiknas menetapkan peraturan-peraturan dan ketentuan tentang sertifikasi guru antara lain sebagai berikut:
a.   Keputusan Mendiknas Tentang Penetapan Perguruan Tinggi Penyelenggara sertifikasi Guru dalam Jabatan
b.    Keputusan Mendiknas Tentang Pembentukan Konsorsium Sertifikasi Guru
c.   Keputusan Mendiknas Tentang Penetapan Lembaga Pendidikan Tentang Kependidikan (LPTK) Penyelenggara Sertifikasi Guru dalam Jabatan
d.   Kuota sertifikasi guru dalam jabatan secara nasional
2.    Konsorsium Sertifikasi Guru (KSG)
KSG melakukan hal-hal antara lain:
a.    Merumuskan standar proses dan hasil sertifikasi guru
b.    Melaksanakan harmonisasi dan sinkronisasi kebijakan sertifikasi guru
c.    Melakukan kordinasi antar rayon LPTK penyelenggara sertifikasi guru dengan Dinas Pendidikan provinsi/Kabupaten/Kota dan Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan
d.   Mengumpulkan, mengolah dan mempublikasikan informasi sertifikasi guru
e.    Mengembangkan dan mengelola sistem informasi sertifikasi guru
f. Melaksanakan monitoring dan evaluasi penyelengggaraan sertifikasi guru serta merumuskan rekomendasi dalam rangka pengendalian proses dan hasil sertifikasi guru
g.    Menampung, menganalisis dan menindaklanjuti masukan masyarakat
h.    Melaksanakan penjaminan mutu penyelenggaraan sertifikasi guru
i.  Melakukan verifikasi daftar peserta sertifikasi guru final perkabupaten/kota sebagai acuan dalam penentuan portofolio yang akan dinilai atau dokumen yang akan diverifikasi
j.  Melakukan verfikasi hasil sertifikasi guru dalam jabatan, verifikasi dokumen PLPG sebelum diumumkan oleh LPTK penyelenggara sertifikasi guru
3.    Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti)
Dikti melakukan hal-hal sebagai berikut:
a.    Mengembangkan naskah akademik sistem sertifikasi guru
b.    Melaksanakan seleksi LPTK penyelenggara sertifikasi guru dan pendidikan profesi
c.    Merancang rayonisasi LPTK penyelenggara sertifikasi guru
d.   Menyusun naskah akademik KSG
e.    Memfasilitasi kegiatan KSG
f. Memfasilitasi monitoring dan evaluasi yang dilakukan oleh tim internal dan tim independen
g.    Mengembangkan sistem dan mekanisme sertifikasi guru
h.    Mengembangkan dan menetapkan pedoman sertifikasi guru
i. Mentapkan kabupaten/kota yang menjadi wilayah rayon LPTK penyelenggara sertifikasi guru
j.  Melaksanakan sosialisasi mekanisme dan pelaksanaan sertifikasi guru kepada LPTK penyelenggara sertifikasi guru
k. Menetapkan kriteria asesor, memberikan rekomendasi kepada rayon LPTK tentang instruktur/narasumber dalam proses perekrutan asesor sertifikasi guru
l.    Menyiapkan instrument untuk perekrutan asesor di rayon LPTK
m. Memberikan nomor induk asesor bagi asesor yang lulus perekrutan dan mengirim daftar asesor kepada rayon LPTK
4.    Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Kependidikan (Ditjen PMPTK)
a.  Mengembangkan sistem dan mekanisme sertifikasi guru, terutama dalam hal penetapan peserta sertifikasi guru
b.    Mengidentifikasi dan mengola data untuk menetapkan kuota peserta sertifikasi guru di setiap provinsi dan kabupaten/kota
c.  Memprogramkan biaya pelaksanaan sertifikasi bagi LPTK penyelenggara sertifikasi guru dalam jabatan
d.   Mengembangkan sistem manajemen informasi peserta sertifikasi guru
e.    Mengembangkan dan menetapkan pedoman penetapan peserta sertifikasi guru dalam jabatan
f. Memfasilitasi Dinas Pendidikan Provinsi, Kabupaten/Kota dan LPMP dalam menjabarkan rambu-rambu kriteria peserta sertifkasi guru
g.   Mensosialisasikan kebijakan yang berkaitan dengan pelaksanaan sertifikasi guru dalam jabatan kepada Dinas Pendidikan Provinsi, Kabupaten/Kota dan Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan
h. Mengkordinasikan pelaksanaan sertifikasi guru dalam jabatan dengan Dinas Pendidikan Provinsi, Kabupaten/Kota dan Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan
i.  Memberikan nomor registrasi guru yang telah mendapat sertifikat pendidik untuk ditetapkan sebagai penerima tunjangan profesi
j.      Menyusun panduan penyaluran dana pelaksanaan sertifikasi guru
k.   Menyusun panduan penyaluran dan penggunaan dana sertifikasi guru untuk LPMP dan rayon LPTK
l.      Mengolah dan menganalisa data sertifikasi guru
5.    Dinas Pendidikan Provinsi:
a. Membentuk panitia sertifikasi guru di Dinas Pendidikan provinsi untuk membantu pelaksanaan sertifikasi guru dalam jabatan
b.    Memfasilitasi pendanaan persiapan pelaksanaan PLPG guru SLB di wilayahnya
c.  Mengendalikan kualitas penyelenggaraan sertifikasi guru dalam jabatan agar sesuai dengan pedoman dan kewenangan Dinas Pendidikan provinsi
d. Melakukan tindak lanjut (pembinaan) bagi guru yang tidak lulus sertifikasi atau didiskualifikasi
6.    Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP)
a.    Menerima pedoman sertifikasi guru dalam jabatan
b.    Membaca secara komprehensif semua buku pedoman sertifikasi guru dan menerapkan dengan taat azas ketentuan yang terkait dengan bidang tugasnya
c.    Membentuk panitia sertifikasi guru di LPMP untuk membantu pelaksanaan sertifikasi guru
d. Melaksanakan monitoring dan evaluasi pelaksanaan sertifikasi guru ke Dinas Pendidikan Provinsi, Kabupaten/Kota dan LPTK penyelenggara sertifikasi guru
e.    Membuat laporan pelaksanaan sertifikasi guru kepada Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Tenaga Pendidik dan Kependidikan melalui Direktur Profesi Pendidik
7.    Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota
a. Membentuk panitia sertifikasi guru tingkat kabupaten/kota untuk membantu penyelenggaraan sertifikasi guru
b.   Menetapkan peserta sertifikasi guru dengan taat azas sesuai dengan kuota melalui surat keputusan kepala dinas pendidikan kabupaten/kota
c. Menetapkan nomor peserta kepada guru diwilayahnya berdasarkan nomor urut surat keputusan tentang peserta sertifikasi guru
d.   Mendistribusikan nomor peserta kepada guru yang masuk kuota sertifikasi
e. Memberikan penugasan kepada kepala sekolah untuk memverifikasi kebenaran dan keabsahan portofolio/dokumen yang diserahkan oleh guru dan memberikan sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku kepada kepala sekolah yang tidak melaksanakan tugasnya dengan baik
f.  Memberikan penugasan kepada pengawas untuk melakukan penilaian pelaksanaan pembelajaran dan kompetensi kepribadian dan sosial secara objektif dan memberikan sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku kepada pengawas yang tidak melakukan tugas ini dengan baik
g.    Memfasilitasi pendanaan persiapan pelaksanaan PLPG di wilayahnya
h.  Mengendalikan kualitas penyelengaraan sertifikasi guru sesuai dengan pedoman dan kewenangan dinas pendidikan provinsi
i. Melakukan tindak lanjut pembinaan bagi guru yang tidak lulus sertifikasi guru atau didiskualifikasi
8.    Rayon LPTK
a.    Menerima pedoman sertifikasi guru dalam jabatan
b.  Mempelajari dengan seksama dokumen pedoman pelaksanaan sertifikasi guru dalam jabatan dan mengaplikasikannya secara taat azas sesuai dengan tugas dan kewenangannya
c.  Menetapkan panitia sertifikasi guru tingkat rayon LPTK dalam bentuk Surat Keputusan Ketua Rayon LPTK penyelenggara sertifikasi guru
d. Membuat laporan pelaksanaan sertifikasi guru dalam jabatan kepada KSG dengan sistematika, substansi, waktu pelaporan yang ditetapkan oleh KSG
  2.1.1.           Konsep Evaluasi
Kata evaluasi berasal dari bahasa inggris evaluation yang berarti penilaian atau penaksiran, sedangkan menurut pengertian istilah evaluasi merupakan kegiatan yang terencana untuk mengetahui keadaan sesuatu objek dengan menggunakan instrumen dan hasilnya dibandingkan dengan tolak ukur untuk memperoleh kesimpulan. Evaluasi mengandung pengertian suatu tindakan atau suatu proses yang menentukan nilai dari sesuatu. Dari aspek pelaksanaan, evaluasi adalah keseluruhan kegiatan pengumpulan data dan informasi, pengolahan, penafsiran, dan pertimbangan untuk membuat keputusan (Widodo, 2013).
Menurut Djemari Mardapi (dalam Widoyoko, 2013:2), mengemukakan bahwa:
Ada tiga istilah yang sering digunakan ddalam evaluasi, yaitu tes, pengukuran, dan penilaian (test, measurement, and assessment). Tes merupakan salah satu cara untuk menaksir besarnya kemampuan seseorang secara tidak langsung, yaitu melalui respon seseorang terhadap stimulus atau pertanyaan. Tes merupakan salah satu alat untuk melakukan pengukuran, yaitu alat untuk mengumpulkan informasi karakteristik suatu objek.

Evaluasi memiliki makna yang berbeda dengan penilaian, pengukuran maupun tes. Menurut Stufflebeam dan Shinkfield (dalam Widoyoko, 2013:3), mengemukakan bahwa:
“Evaluation is the process of delineating, obtaining, and providing descriptive and judgmental information about the worth and merit of some objec’t goal, design, implementation, and impact in order to guide decision making, serve needs for accountability, and promote understanding of the involved phenomena”. Evaluasi merupakan suatu proses menyediakan informasi yang dapat dijadikan sebagai pertimbangan untuk menentukan apa yang dicapai,, desain, implementasi dan dampak untuk membantu membuat keputusan, membantu pertanggungjawaban dan meningkatkan pemahaman terhadap fenomena. Menurut rumusan tersebut, inti dari evaluasi adalah penyediaan informasi yang dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam  mengambil keputusan.

Komite Studi Nasional tentang Evaluasi (National Study Committee on Evaluation) dari UCLA Stark dan Thomas (dalam Widoyoko, 2013:4) menyatakan bahwa:
“Evaluation is the process of ascertaining the decision of concern, selecting appropriate information, and collecting and analyzing information in order to report summary data useful to decision makers in selecting among alternatives”. Evaluasi merupakan suatu proses atau kegiatan pemilihan, pengumpulan, analisis dan penyampaian informasi yang dapat digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan serta penyusunan program selanjutnya.

Menurut Griffin dan Nix (dalam Widoyoko, 2013:4) menyatakan bahwa “ Measurement, assessment and evaluation aare hierarchial. The comparison of observation with the criteria is a measurement, the interpretation and description of the evidence is an assessment and the judgement of the value or implication of the behavior is an evaluation.” Pengukuran, penilaian, dan evaluasi bersifat hierarki. Evaluasi didahului dengan (assessment), sedangkan penilaian didahului dengan pengukuran. Pengukuran diartikan sebagai kegiatan membandingkan hasil pengamatan dengan kriteria, penilaian (assessment) merupakan kegiatan menafsirkan dan mendeskripsikan hasil pengukuran, sedangkan evaluasi merupakan penetapan nilai atau implikasi perilaku.

Brinkerhoff (1986) menjelaskan bahwa: evaluasi merupakan proses yang menentukan sejauh mana tujuan pendidikan dapat dicapai. Selanjutnya, dalam pelaksanaan evaluasi ada tujuh elemen yang harus dilakukan, yaitu 1) penentuan focus yang akan dievaluasi (focusing the evaluation),2) penyusunan desain evaluasi (signing the evaluation), 3) pengumpulan informasi (collecting information), 4) analisis dan interprestasi informasi (analyzing and interpreting),5) pembuatan laporan (reporting information), 6) pengelolaan evaluasi (managing evaluation), dan 7) evaluasi untuk dievaluasi (evaluating evaluation), (Widoyoko, 2013).
Dalam pengertian tersebut menunjukkan bahwa dalam melakukan evaluasi, evaluator pada tahap awal harus menentukan fokus yang akan dievaluasi dan desain yang akan digunakan. Hal ini berarti harus ada kejelasan apa yang akan dievaluasi yang secara implicit menekankan adanya tujuan evaluasi, serta adanya perencanaan bagaimana melaksanakan evaluasi. Selanjutnya, dilakukan pengumpulan data, menganalisis dan membuat interpretasi terhadap data yang terkumpul serta laporan. Selain itu, evaluator juga harus melakukan pengaturan terhadap evaluasi dan mengevaluasi apa yang telah dilakukan dalam melaksanakan evaluasi secara keseluruhan. Weiss (1972:4) menyatakan bahwa tujuan evaluasi adalah:
“ The purpose of evaluation research is to measure the effect of program against the goals it set out accomplish as a means of contributing to subsuquest decision making about the program and improving future programming”.
Ada empat hal yang ditekankan pada rumusan tersebut, yaitu: 1) menunjuk pada penggunaan metode penelitian, 2) menekankan pada hasil suatu program, 3) penggunaan kriteria untuk menilai, dan 4) kontribusi terhadap pengambilan keputusan dan perbaikan program di masa mendatang.
Berdasarkan pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa evaluasi merupakan proses yang sistematis dan berkelanjutan untuk mengumpulkan, mendeskripsikan, menginterprestasikan dan menyajikan informasi tentang suatu program untuk dapat digunakan sebagai dasar pembuatan keputusan, menyusun kebijakan maupun menyusun program selanjutnya.  Adapun tujuan evaluasi adalah untuk memperolah informasi yang akurat dan objektif tentang suatu program. Informasi tersebut dapat berupa proses pelaksanaan program, dampak/hasil yang ingin dicapai, efisiensi serta pemanfaatan hasil evaluasi yang difokuskan untuk program itu sendiri, yaitu untuk mengambil keputusan apakah dilanjutkan, diperbaiki atau dihentikan. Selain itu, juga dipergunakan untuk kepentingan penyusunan program berikutnya maupun penyusunan kebijakan yang terkait dengan program.
Menurut Arikunto dan Cepi Safruddin (dalam Widoyoko, 2013:6) menyatakan bahwa:
Wujud dari hasil evaluasi adalah adanya rekomendasi dari evaluator untuk pengambilan keputusan (decision maker).ada empat kemungkinan kebijakan yang dapat dilakukan berdasarkan hasil evaluasi pelaksanaan program, yaitu:
1)   Menghentikan program, karena dipandang bahwa program tersebut tidak ada manfaatnya, atau tidak dapat terlaksana sebagaimana diharapkan;
2) Merevisi program, karena ada bagian-bagian yang kurang sesuai dengan harapan (terdapat kesalahan sedikit);
3)   Melanjutkan program, karena pelaksanaan program menunjukkan bahwa segala sesuatu sudah beerjalan sesuai dengan harapan dan memberikan hasil yang bermanfaat;
4) Menyebarkan program (melaksanakan program di tempat lain atau mengulangi lagi program dilain waktu), karena program tersebut berhasil dengan baik, maka sangat baik jika dilaksanakan lagi di tempat dan waktu lain.

2.1.1.1.     Konsep Evaluasi Program
Dalam evaluasi program ada tiga istilah yang digunakan dan perlu disepakati pemakaiannya, sebelum menjabarkan tentang evaluasi program tersebut, yaitu evaluasi (evaluation), pengukuran (measurement), dan penilaian (assessment). Evaluasi berasal dari kata evaluation (bahasa inggris). Kata tersebut diserap ke dalam perbendaharaan istilah bahasa Indonesia dengan tujuan mempertahankan kata aslinya dengan sedikit penyesuaian lafal Indonesia menjadi “evaluasi”. Istilah “penilaian” merupakan kata benda dari “nilai”. Pengertian “pengukuran” mengacu pada kegiatan membandingkan sesuatu hal dengan satuan ukuran tertentu, sehingga sifatnya menjadi kuantititatif.
Dalam Kamus Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English, AS Hornby (dalam Arikunto, 2014:1) mengemukakan bahwa:
Evaluasi adalah to find out, decide the amount or value yang artinya suatu upaya untuk menentukan nilai atau jumlah. Selain arti berdasarkan terjemahan, kata-kata yang terkandung di dalam definisi tersebut pun menujukkan bahwa kegiatan evaluasi harus dilakukan secara hati-hati dalam pelaksanaannya, bertangunggjawab, menggunakan strategi, dan dapat dipertangunggjawabkan.

Evaluasi sebagai sebuah proses menentukan hasil yang telah dicapai beberapa kegiatan yang direncanakan untuk mendukung tercapainya tujuan seperti yang dikemukakan oleh Suchman (1961) dan Anderson (1975). Sedangkan menurut Worthen dan Sanders (dalam Anderson, 1973 : 345)  mengemukakan bahwa evaluasi adaalah kegiatan mencari sesuatu yang berharga tentang sesuatu; dalam mencari sesuatu tersebut, juga termasuk mencari informasi yang bermanfaat dalam menilai keberadaan suatu program, produksi, prosedur serta alternatif strategi yang diajukan untuk mencapai tujuan yang sudah ditentukan (Arikunto, 2014).
Menurut Stufflebeam dan Fernades (dalam Arikunto, 2014: 2) mengatakan bahwa:
“Evaluasi merupakan proses penggambaran, pencarian, dan pemberian informasi yang sangat bermanfaat bagi pengambil keputusan dalam menentukan alternatif  keputusan”.
Menurut TR Morrison dan Abdjul (dalam Nanang Fattah, 2011:107) mengemukakan bahwa:
Evaluasi adalah pembuatan pertimbangan menurut suatu perangkat kriteria  yang disepakati dan dapat dipertanggung jawabkan. Ada tiga faktor penting dalam konsep evaluasi yaitu: pertimbangan (judgement), deskripsi objek penilaian, dan kriteria yang tertanggung jawab (defensible crtiteria). Aspek keputusan itu yang membedakan evaluasi sebagai suatu kegiatan dan konsep dari kegiatan dan konsep lainnya, seperti pengukuran (measurement).

Dari beberapa pendapat tersebut disimpulkan bahwa evaluasi adalah kegiatan untuk mengumpulkan informasi tentang bekerjanya sesuatu, yang selanjutnya informasi tersebut digunakan untuk menentukan alternatif yang tepat dalam mengambil sebuah keputuan.

2.1.1.2.     Evaluasi Kebijakan Publik
Menurut Dwijowijoto (dalam Syafaruddin, 2008 : 88) tentang kebijakan bahwa:
Suatu kebijakan tidak boleh dibiarkan begitu saja setelah dilaksanakan. Begitu pelaksanaan kebijakan berlangsung, selanjutnya perlu diperiksa. Sebagai proses manajemen, pengawasan adalah keharusan atau diperukan sebagai proses pemantauan atau evaluasi kebijakan. Evaluasi kebijakan publik dilaksanakan sebagai proses untuk mengetahui sejauh mana keefektivan kebijakan public guna dipertanggungjawabkan kepada semua pihak terkait (stakeholders). Dengan kata lain, sejauh mana tujuan kebijakan tersebut tercapai. Di sisi lain, evaluasi dipergunakan untuk mengetahui kesenjangan antara harapan/tujuan dengan kenyataan yang dicapai.

Dengan demikian evaluasi tidak dimaksudkan mencapai kesalahan para pelaksana kebijakan, akan tetapi pesan utamanya adalah supaya kekurangan dan kelemahan dalam pelaksanaan kebijakan dapat diperbaiki sehingga pencapaian tujuan lebih maksimal. Tepatnya, evaluasi kebijakan semata-mata bersufat positif dan konstruktif. Menurut Putt dan Springer (2008) dalam (Dunn 2004 : 88) menjelaskan bahwa:
Evaluasi adalah langkah menerima umpan balik yang utama dari proses kebijakan. Jadi evaluasi kebijakan memberikann informasi yang membolehkan stakeholders mengetahui apa yang terjadi berikutnya dari maksud implementasi kebijakan. Evaluasi juga memberikan pemaparan aktivitas implementasi kebijakan. Pada tingkat kompleksitas lebih besar, evaluasi dimaksudkan untuk mengidentifikasi tingkat keberhasilan pelaksanaan yang dicapai sesuai sasaran. Akhirnya evaluasi dapat memberikan pemahaman terhadap alasan keberhasilan kebijakan atau kegagalan dan dapat memberikan saran terhadap tindakan untuk memberdayakan pencapaian sasaran kebijakan.

Evaluasi kebijakan adalah mempelajari pencapaian sasaran darri pengalaman terdahulu. Tanpa pengujian pelaksanaan dan hasil usaha. Ada sedikit kemungkinan peningkatan program. Ada beberapa sasaran evaluasi kebijakan sebagaimana yang dikemukakan oleh Glaser, Abelson, dan Garrison (dalam Syafaruddin, 2008 : 89) yaitu:
1)   Menentukan seluruh kebijakan dan nilai kebijakan dalam pencapaian maksud sasaran,
2)   Mengidentifikasi keberhasilan dan kegagalan komponen kebijakan,
3)   Penerimaan program strategis yang merupakan kontribusi terbaik terhadap keberhasilan implementasi kebijakan,
4) Penilaian efek samping yang tidak diharapkan atau akibat yang tidak diinginkan dari usaha kebijakan.

Berlandaskan konsep kebijakan tersebut dapat disimpulkan bahwa manajer perlu memiliki pemahaman tentang evaluasi kebijakan tidak hanya berfokus pada evaluasi pelaksanaan kebijakan saja, akan tetapi evaluasi kebijakan mencakup evaluasi perumusan kebijakan, evaluasi implementasi kebijakan, dan evaluasi lingkungan kebijakan. Karena ketiga bagian itulah yang menentukan keberhasilan kebijakan. Jadi evaluasi sebenarnya penilaian terhadap hasil yang dicapai dari pelakasnaan kebijakan yang oleh pelaksana dan lingkungan yang mengitarinya.
Menurut Dunn (2003:608) mengemukakan bahwa: “ Evaluasi mempunyai arti yang berhubungan, masing-masing menunjuk pada aplikasi beberapa skala nilai terhadap hasil kebijakan program.” Secara umum istilah evaluasi dapat disamakan dengan penaksiran (appraisal), pemberian angka (rating) dan penilaian (assessment), kata-kata yang menyatakan usaha untuk menganalisis hasil kebijakan dalam arti satuan nilainya. Dalam arti yang spesifik, evaluation berkenaan dengan produksi informasi mengenai nilai atau manfaat kebijakan. Ketika hasil kebijakan pada kenyataannya mempunyai nilai, hal ini karena hasil tersebut memberi sumbangan pada tujuan dan sasaran. Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa kebijakan atau program telah mencapai tingkat kinerja yang bermakna, yang berarti bahwa masalah-masalah kebijakan dibuat jelas atau diatasi.
Menurut Widodo (2013:112) tentang evaluasi kebijakan publik menyatakan bahwa:
Evaluasi kebijakan publik dimaksudkan untuk melihat atau mengukur tingkat kinerja pelaksanaan suatu kebijakan publik yang latar belakang dan alasan-alasan diambilnya sesuatu kebijakan, tujuan dan kinerja kebijakan, berbagai instrument kebijakan yang dikembangkan dan dilaksanakan, responsi kelompok sasaran dan stakeholder lainnya serta konsistensi aparat, dampak yang timbul dan perubahan yang ditimbulkan, perkiraan perkembangan tanpa kehadirannya dan kemajuan yang dicapai kalau kebijakan dilanjutkan atau diperluas. Evaluasi kebijakan bisa saja mempersoalkan pada tataran “abstrak” berupa pemikiran, teori, ataupun paradigma yang mendasari suatu kebijakan apabila dipandang perlu.

Menurut Muhadjir (dalam Widodo, 2013 : 112) mengemukakan bahwa “ Evaluasi kebijakan publik merupakan suatu proses untuk menilai seberapa jauh suatu kebijakan publik dapat “membuahkan hasil”, yaitu dengan membandingkan antara hasil yang diperolah dengan tujuan dan/atau target kebijakan yang ditentukan.”
Berikut ini adalah pendapat Jones (dalam Widodo, 2013 : 113) mengartikan evaluasi sebagai:
 “…an activity designed to judge the merits of government policies which varies significantly in the specification of object, the techniques of measurement, and methods of analysis…”. Evaluasi kebijakan public merupakan suatu aktivitas  yang dirancang untuk menilai hasil-hasil kebijakan pemerintah yang mempunyai perbedaan-perbedaan yang sangat penting dalam spesifikasi objeknya, teknik-teknik pengukurannya, dan metode analisisnya. Oleh karena itu, kegiatan spesifikasi, pengukuran, analisis, dan rekomendasi adalah mencirikan segala bentuk evaluasi. Spesifikasi merupakan kegiatan yang penting sehingga mengacu pada identifikasi tujuan serta kriteria yang harus dievaluasi dalam suatu proses atau kebijakan tertentu.

Weiss 1972 (dalam Widodo, 2013 : 114) menyatakan bahwa “ the purpose of evaluation research is to measure the effects of a program against the goals it set out to accomplish as a means of contributing to subsequent decision making about the program and improving future programming.” Riset evaluasi bertujuan untuk mengukur dampak dari suatu program yang mengarah pada pencapaian dari serangkaian tujuan yang telah ditetapkan dan sebagai sarana untuk meberikan kontribusi (rekomendasi) dalam membuat keputusan dan perbaikan program pada masa mendatang.

Menurut Dunn (2003:608) menggambarkan tentang sifat evaluasi yang menghasilkan tuntutan-tuntutan yang bersifat evaluatif. Bahwa evaluasi tersebut mempunyai sejumlah karakteristik yang membedakannya dari metode-metode analisis kebijakan lainnya:
1) Fokus nilai. Evaluasi berbeda dengan pemantauan, dipusatkan pada penilaian menyangkut keperluan atau nilai dari sesuatu kebijakan dan program. Evaluasi terutama merupakan usaha untuk menentukan manfaat atau kegunaan sosial kebijakan atau program, dan bukan sekedar usaha untuk mengumpulkan informasi mengenai hasil aksi kebijakan yang terantisipasi dan tidak terantisipasi. Karena ketepatan tujuan dan sasaran kebijakan dapat selalu dipertanyakan, evaluasi mencakup prosedur untuk mengevaluasi tujuan-tujuan dan sasaran itu sendiri.
2)   Interdependensi Fakta-Nilai. Tuntutan evaluasi tergantung baik “fakta” maupun “nilai.” Untuk menyatakan bahwa kebijakan atau program tertentu telah mencapai tingkat kinerja yang tertinggi (atau rendah) diperlukan tidak hanya bahwa hasil-hasil kebijakan berharga bagi sejumlah individu, kelompok atau seluruh masyarakat; untuk menyatakan demikian, harus didukung oleh bukti bahwa hasil-hasil kebijakan secara actual merupakan konsekuensi dari aksi-aksi yang dilakukan untuk memecahkan masalah tertentu. Oleh karena itu, pemantauan merupakan prasyarat bagi evaluasi.
3)   Orientasi Masa Kini dan Masa Lampau. Tuntutan evaluative, berbeda dengan tuntutan-tuntutan advokatif, diarahkan pada hasil sekarang dan masa lalu, ketimbang hasil di masa depan. Evaluasi bersifat retrospektif dan setelah aksi-aksi dilakukan (ex post). Rekomendasi yang juga mencakup premis-premis nilai, bersifat prospektif dan dibuat sebelum aksi-aksi dilakukan (ex ante).
4)   Dualitas nilai. Nilai-nilai yang mendasari tuntutan evaluasi mempunyai kualitas ganda, karena mereka dipandang sebagai tujuan dan sekaligus cara. Evaluasi sama dengan rekomendasi sejauh berkenaan dengan nilai yang ada (misalnya, kesehatan) dapat dianggap sebagai intrinsik (diperlukan bagi dirinya) ataupun ekstrinsik (diperlukan karena hal itu mempengaruhi pencapaian tujuan-tujuan lain). Nilai-nilai sering ditata di dalam suatu hirarki yang merefleksikan kepentingan relative dan saling ketergantungan antar tujuan dan sasaran.

Bertumpu pada uraian tersebut evaluasi kebijakan publik menurut Weiss (1972) menyatakan bahwa ada beberapa unsur penting didalamnya yaitu:
1)   Untuk mengukur dampak (to measure the effects) dengan bertumpu pada metodologi riset yang digunakan.
2) Dampak (effects) tersebut menekankan pada suatu hasil (out-comes) dari efisiensi, kejujuran, moral yang melekat pada aturan-aturan atau standar.
3) Perbandingan antara dampak (effects) dengan tujuan (goals) menekankan pada pengggunaan kriteria (criteria) yang jelas dalam menilai bagaimana suatu kebijakan telah dilaksanakan dengan baik.
4)   Memberikan kontribusi pada pembuatan keputusan selanjutnya dan perbaikan kebijakan pada masa mendatang sebagai tujuan sosial (the social purpose) dari evaluasi.

Lebih lanjut Weiss (1972), riset evaluasi kebijakan bertujuan untuk mengukur dampak dari suatu program yang mengarah pada pencapaian dari serangkaian tujuan yang telah ditetapkan dan sebagai sarana untuk memberikan kontribusi (rekomendasi) dalam membuat keputusan program dan perbaikan program pada masa mendatang.
Sungguhpun demikian, tujuan riset evaluasi kebijakan publik dapat dikelompokkan dalam dua macam tujuan, yaitu tujuan utama dan tujuan sosial. Tujuan utama evaluasi kebijakan publik adalah untuk mengetahui sejauh mana keberhasilan suatu kebijakan program, sedangkan tujuan sosialnya untuk memberikan kontribusi (rekomendasi) pada pembuatan keputusan selanjutnya dan perbaikan kebijakan program pada masa mendatang. Setidaknya keputusan tentang masa depan kebijakan menurut Weiss 1972 (dalam Widodo, 2013:115) adalah sebagai berikut:
1)   To Continue or discontinue the program.
2)   To improve its practices and procedures.
3)   To add or drop specific program strategis and techniques.
4)   To institute similer programs elsewhere.
5)   To allocate resources among competing programs.
6)   To accept or reject a program approach or theory.
Berdasarkan gambaran tersebut dapat disimpulkan bahwa tujuan utama evaluasi kebijakan publik adalah untuk mengetahui tingkat keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan suatu kebijakan publik. Setelah diketahui tingkat keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan kebijakan, tujuan kebijakan berikutnya adalah memberikan rekomendasi kebijakan berupa keputusan tentang masa depan dari kebijakan publik tersebut. Alternatif rekomendasi kebijakan setidaknya sebagaimana telah dikemukakan oleh Weiss antara lain (a) kebijakan perlu diteruskan atau dihentikan, (b) kebijakan perlu diteruskan, namun perlu diperbaiki baik prosedur maupun penerapannya, (c) perlunya menambah atau mengembangkan strategi dan teknik program-program khusus, (d) perlunya menerapkan kebijakan program serupa di tempat lain, dan (e) perlunya mengalokasikan sumber daya langkah di antara program yang saling berkompetitif, dan (f) perlunya menolak atau menerima teori atau pendekatan kebijakan program (Widodo, 2013:116).
Menurut James Andreson (dalam Nugroho, 2011: 675) membagi evaluasi (implementasi) kebijakan publik menjadi tiga tipe, yaitu:
1)   Evaluasi kebijakan publik yang dipahami sebagai kegiatan fungsional.
2)   Evaluasi yang memfokuskan kepada bekerjanya kebijakan
3) Evaluasi kebijakan sistematis yang melihat secara objektif program-program kebijakan yang ditujukan untuk mengukur sejauh mana tujuan-tujuan yang ada telah dinyatakan tercapai.

Sedangkan menurut Howlett dan Ramesh (dalam Nugroho, 2011: 676) mengelompokkan evaluasi menjadi tiga bagian yaitu :
1)   Evaluasi Administratif, yang berkenaan dengan evaluasi sisi administrative-anggaran, efisiensi, biaya dari proses kebijakan di dalam pemerintah yang berkenaan dengan;
a. Effort evaluation, yang  menilai dari sisi input program yang dikembangkan oleh kebijakan.
b. Performance evaluation, yang menilai keluaran (output) dari program yang dikembangkan oleh kebijakan.
c.    Adequacy of performance evaluation or effectivennes evaluation, yang menilai apakah program dijalankan sebagaimana yang sudah ditetapkan.
d.    Efficiency evaluation, yang menilai biaya program dan memberikan penilaian tentang keefektifan biaya tersebut.
e.  Process evaluation, yang menilai metode yang dipergunakan oleh organisasi untuk melaksanakan program.
2)   Evaluasi judicial yaitu; evaluasi yang berkenaan dengan isu keabsahan hukum tempat kebijakan diimplementasikan, termasuk kemungkinan pelanggaran terhadap konstitusi, sistem hukum, etika, aturan administrasi negara, hingga hak asasi manusia.
3) Evaluasi politik yaitu menilai sejauh mana penerimaan konstituen politik terhadap kebijakan publik yang diimplementasikan.

Dalam menghasilkan informasi mengenai kinerja kebijakan, analisis menggunakan tipe kriteria yang berbeda untuk mengevaluasi hasil kebijakan. Tipe-tipe kriteria dalam hubungannya dengan rekomendasi kebijakan. Perbedaan utama antara kriteria untuk evaluasi dan kriteria untuk rekomendasi adalah pada waktu ketika kriteria diterapkan atau dipublikasikan. Kriteria untuk evaluasi diterapkan secara retrospektif (ex post), sedangkan criteria untuk rekomendasi diterapkan secara prospektif (ex ante). Menurut Dunn (2003: 610) secara umum kriteria-kriteria  evaluasi hasil kebijakan adalah sebagai berikut: Tabel, 2.2.
Tabel 2.2.
Kriteria Evaluasi Hasil Kebijakan


Tipe Kriteria
Pertanyaan
Ilustrasi
Efeketivitas
Apakah hasil yang diinginkan telah dicapai
Unit layanan
Efisiensi
Seberapa banyak usaha diperlukan untuk mencapai hasil yang diinginkan
Unit biaya
Manfaat bersih
Rasio biaya-manfaat
Kecukupan
Seberapa jauh pencapaian hasil yang diinginkan memecahkan masalah
Biaya tetap (masalah tipe I)
Efektivitas tetap (masalah tipe II)
Perataan
Apakah biaya dan manfaat didistribusikan dengan merata kepada kelompok-kelompok yang berbeda
Kriteria pareto
Kriteria kaldor-Hicks
Kriteria Rawis
Responsivitas
Apakah hasil kebijakan memuaskan kebutuhan, preferensi atau nilai kelompok-kelompok tertentu
Konsistensi dengan survei  warga negara
Ketepatan
Apakah hasil (tujuan) yang diinginkan benar-benar berguna atau bernilai
Program publik harus merata dan efisien
Sumber : William N. Dunn, 2003.
 Menurut Mac-Rae dan Wilde (dalam Nanang Fattah, 2012:236) menyatakan bahwa:
Kriteria yang digunakan dalam evaluasi tentang program yang ada cenderung lebih spesifik daripada general, karena lebih berkaitan dengan apakah program mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Lebih jauh lagi, kriteria ini berkaitan dengan program untuk memenuhi layanan kemanusiaan melibatkan pengukuran yang manfaatnya relatif tidak terlihat. Oleh karena itu, implikasi khusus dari adanya kriteria tersebut lebih mengukur efektivitas daripada efisiensi.

Berlandaskan pada kriteria yang dikemukakan oleh Dunn tersebut, dapat dikembangkan sebagai berikut:
a)    Efektivitas (effectiveness), berkenaan dengan apakah suatu alternatif mencapai hasil (akibat) yang diharapkan, atau mencapai tujuan dari diadakannya tindakan. Secara spesifik efektivitas berhubungan dengan rasionalitas teknis yang nilainya selalu diukur dari unit produk atau layanan.
b)   Efisiensi (efisiency), berkenaan dengan jumlah usaha yang diperlukan untuk menghasilkan efektivitas tertentu. Efisiensi yang merupakan sinonim dari rasionalitas ekonomi adalah hubungan antara efektivitas dan usaha, yang terakhir umumnya diukur dari ongkos moneter. Efisiensi biasanya ditentukan melalui perhitungan biaya per unit produksi atau layanan. Kebijakan yang mencapai efektivitas tertinggi dengan biaya terkecil dinamakan efisien.
c)    Kecukupan (adequacy), berkenaan dengan seberapa jauh suatu tingkat efektivitas memuaskan kebutuhan, nilai atau kesempatan yang menumbuhkan adanya masalah. Kriteria kecukupan menekankan pada kuatnya hubungan antara alternative kebijakan dan hasil yang diharapkan.
d)   Pemerataan/kesamaan (equity), hal ini berkenaan dengan rasionalitas legal dan sosial dan merujuk ppada distribusi akibat usaha antara kelompok-kelompok yang berbeda dalam masyarakat. Kebijakan yang berorrientasi pada pemerataan adalah kebijakan yang akibatnya (misal; unit layanan atau manfaat moneter) atau usaha (biaya produksi) didistribusikan secara adil dan merata.
e)    Responsivitas (responsiveness), berkenaan dengan seberapa jauh suatu kebijakan dapat memuaskan kebutuhan, preferensi atau nilai kelompok-kelompok yang berbeda masyarakat tertentu. Kriteria responsivitas adalah penting akrena analisis yang dapat memuaskan semua kriteria lainnya; efektivitas, efisiensi, kecukupan pemerataan dianggap masih gagal jika belum menanggapi (responsif) terhadap kebutuhan actual dari suatu kelompok yang semestinya diuntungkan dari adanya suatu kebijakan.
f)    Ketepatan (appropriateness), kriteria ini berkenaan dengan rasionalitas substansif karena pertanyaan tentang ketepatan kebijakan tidak berkenaan dengan satuan kriteria individu, tetapi dua atau lebih kriteria bersama-sama. Ketepatan mmerujuk pada nilai atau harga diri tujuan program dan kepada kuatnya asumsi yang melandasi tujuan-tujuan tersebut.

 Dari kriteria atau indikator tentang evaluasi tersebut, ada beberapa pendekatan dalam evaluasi kebijakan untuk menghasilkan informasi yang bermakna atau penilaian yang baik. Berikut tiga pendekatan evaluasi menurut Dunn (2003: 612), dapat dilihat pada tabel 2.3.

Tabel 2.3.
Pendekatan Evaluasi Kebijakan


PENDEKATAN
TUJUAN
ASUMSI
BENTUK-BENTUK UTAMA
Evaluasi Semu
Menggunakan metode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang valid tentang hasil kebijakan
Ukuran manfaat atau nilai terbukti dengan sendirinya atau tidak kontroversial
Eksperimen sosial
Akuntansi sistem sosial
Pemeriksaan sosial
Sintesis riset dan praktik
Evaluasi Formal
Menggunakan metode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang terpercaya dan valid mengenai hasil kebijakan secara formal diumumkan sebagai tujuan program - kebijakan
Tujuan dan sasaran dari pengambil kebijakan administrator yang secara resmi diumumkan merupakan ukuran yang tepat dari manfaat atau nilai
Evaluasi perkembangan
Evaluasi eksperimental
Evaluasi proses retrospektif
Evaluasi hasil retrospektif
Dilanjutkan …………

……. Lanjutan 1
Evaluasi keputusan teoritis
Menggunakan metode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang terpercaya dan valid mengenai hasil kebijakan secara eksplisit diinginkan oleh berbagai pelaku kebijakan
Tujuan dan sasaran dari berbagai pelaku yang diumumkan secara formal ataupun diam-diam merupakan ukuran yang tepat dari manfaat atau nilai
Penilaian tentang dapat tidaknya dievaluasi
Analisis utilitas multiatribut
Sumber : William N. Dunn, 2003.
Berdasarkan pendapat para ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa evaluasi program sertifikasi yang akan dilakukan dapat memberikan sumbangan informasi yang valid tentang hasil kebijakan, dengan tujuan untuk menghasilkan informasi yang terpercaya dan valid  mengenai hasil kebijakan secara formal atau secara teoritis yang diumumkan sebagai tujuan program kebijakan tersebut.


2.1.1.1.     Fungsi dan Tujuan Evaluasi Kebijakan Publik
Faktor yang menentukan perubahan, pengembangan, atau restrukturisasi organisasi adalah terlaksananya kebijakan organisasi sehingga dapat dirasakan bahwa kebijakan tersebut benar-benar berfungsi dengan baik. Hakikat kebijakan adalah berupa keputusan yang substansinya adalah tujuan, prinsip dan aturan-aturan. Format kebijakan biasanya dicatat dan dituliskan untuk dipedomani oleh pimpinan, staf, dan personal oraganisasi, serta interaksinya dengan lingkungan eksternal.  Menurut Haner (dalam Syafaruddin, 2008:77)  mengemukakan bahwa:
“ Kebijakan adalah ungkapan verbal atau tertulis dan tegas dari prinsip-prinsip dan aturan-aturan yang ditetapkan oleh pimpinan manajerial sebagai garis besar dan batas-batas pemikiran tindakan sesuatu organisasi.”
Analisis kebijakan yang dimaksud adalah dalam pengertian yang formal atau disebut “Researched Analysis” oleh Patton dan Sawicki (dalam Nanang Fattah, 2012: 12) adalah metodologi dalam analisis kebijakan tidak dapat dipisahkan dengan pembahasan pendidikan mengenai fungsi dan tujuan dari substansi pendidikan. Fungsi analisis kebijakan dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori, yaitu:
1)  Fungsi alokasi yang menekankan fungsi analisis kebijakan dalam penentuan agenda analisis kebijakan (agenda setting mechanism).
2)   Fungsi inkuiri yang menekankan pada fungsi analisis kebijakan dalam dimensi rasional dalam rangka menghasilkan informasi teknis yang berguna sebagai masukan bagi proses pembuatan keputusan pendidikan.
3)   Fungsi komunikasi yaitu cara-cara atau prosedur yang efisien dalam rangka memasarkan hasil-hasil analisis kebijakan sehingga memiliki dampak yang berarti bagi proses pembuatan keputusan.

Menurut Dunn (2003: 609) mengemukakan bahwa fungsi evaluasi adalah memainkan sejumlah fungsi utama dalam analisis kebijakan:
a)  Pertama; dan yang paling penting adalah evaluasi memberi informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai kinerja kebijakan, yaitu seberapa jauh kebutuhan, nilai dan kesempatan telah dicapai melalui tindakan publik. Dalam hal ini, evaluasi mengungkapkan seberapa jauh tujuan-tujuan tertentu (misal; perbaikan kesehatan) dan target tertentu (sebagai contoh; 20 persen pengurangan penyakit kronis pada tahun 1990) yang telah dicapai.
b)   Kedua; evaluasi memberi sumbangan pada klarifikasi dan kritik terhadap nilai-nilai yang mendasari pemilihan tujuan dan target. Nilai diperjelas dengan mendefinisikan dan mengoperasikan tujuan dan target. Nilai juga dikritik dengan menanyakan secara sistematis kepantasan tujuan dan target dalam hubungan dengan masalah yang dituju. Dalam menanyakan kepantasan tujuan dan sasaran, analis dapat menguji alternatif sumber nilai (misal; kelompok kepentingan dan pegawai negeri, kelompok-kelompok klien) maupun landasan mereka dalam berbagai bentuk rasionalitas (teknis, ekonomi, legal, social, substantif).
c) Ketiga; evaluasi memberi sumbangan pada aplikasi metode-metode analisis kebijakan lainnya; termasuk perumusan masalah dan rekomendasi. Informasi tentang tidak memadainya kinerja kebijakan, sebagai contoh, dengan menunjukan bahwa tujuan dan target perlu didefinisikan ulang. Evaluasi dapat pula menyumbang pada definisi alternatif kebijakan yang baru atau direvisi kebijakan dengan menunjukkan bahwa alternatif kebijakan yang diungggulkan sebelumnya perlu dihapus dan diganti dengan yang lain.

Dari berbagai pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa evaluasi berfungsi atau bertujuan untuk memberikan sumbangan informasi mengenai kinerja kebijakan dan menilai tentang kesesuaian, ketepatan pada tujuan dan target yang dicapai, yang telah ditetapkan pada pokok permasalahan, serta memberi jawaban yang positif atau negatif atas kinerja kebijakan tersebut, dalam rangka pemanfaataan dan  meningkatkan efektivitas, efisiensi, dan produktivitas kerja yang berkesinambungan.

2.1.1.           Konsep Pendidikan
Para pakar ahli pendidikan banyak memberikan pengertian tentang pendidikan berdasarkan sudut tinjauannya masing-masing. Menurut Carter V. Good tentang Dictionary of Education (dalam Arifin, 2013: 38) menyebutkan bahwa:
“Pendidikan itu adalah (1) proses perkembangan kecakapan seseorang dalam bentuk sikap dan perilaku dalam masyarakatnya, (2) proses sosial ketika seseorang dipengaruhi oleh lingkungan yang terpimpin (sekolah), sehingga dapat mencapai kecakapan sosial dan mengembangkan pribadinya.”
Menurut Driyarkara (dalam Nanang Fattah, 2012: 38) mengemukakan bahwa Pendidikan adalah:
a)   Pendidikan adalah memanusiakan manusia muda (pemanusiaan manusia muda)
b)   Dictionary of Education; (a) Proses ketika seseorang mengembangkan kemampuan, sikap dan bentuk-bentuk tingkah laku lainnya dalam masyarakat tempat dia hidup, (b) Proses social ketika orang dihadapkan pada pengaruh lingkungan yang terpilih dan terkontrol (khususnya yang ddatang dari sekolah) sehingga dia dapat memperoleh atau mengalami perkembangan kemampuan social dan kemampuan individu yang optimum.

Sedangkan menurut Freeman Butt dalam bukunya Cultural History of Wistern Education (dalam Arifin, 2013: 38) mengemukakan bahwa:
1)   Pendidikan adalah kegiatan menerima dan memberikan pengetahuan, sehingga kebudayaan dapat diteruskan dari generasi ke generasi  berikutnya.
2)   Pendidikan adalah suatu proses; melalui proses ini individu diajarkan kesetiaan dan kesediaan untuk mengetahui aturan, dan melalui cara ini pikiran manusia dilatih dan dikembangankan.
3)   Pendidikan adalah suatu proses pertumbuhan. Dalam proses ini individu dibantu mengembangkan bakat, kekuatan,, kesanggupan dan minatnya.

Menurut Arifin (2013: 39) menyatakan bahwa pengertian pendidikan juga dapat dipahami dari pendekatan monodisipliner, dimana konsep pendidikan dilihat dalam berbagai disiplin keilmuan, antara lain:
a)    Sosiologi, yaitu melihat pendidikan dari aspek sosial, pendidikan berarti proses sosialisasi individu.
b)   Antropologi, yaitu melihat pendidikan dari aspek budaya, pendidikan berrati sarana pertumbuhan budaya.
c)    Psikologi, yaitu melihat pendidikan dari aspek tingkah laku, pendidikan berarti proses perubahan tingkah laku individu secara optimal.
d)   Ekonomi, yaitu melihat pendidikan sebagai usaha penanaman modal insani (Human investment).
e)    Politik, yaitu melihat pendidikan sebagai usaha pembinaan kader bangsa.
f)    Agama, yaitu melihat pendidikan sebagai pengembangan kepribadian manusia secara utuh sebagai hamba Tuhan.

Menyimak beberapa pengertian pendidikan tersebut, dapat disimpulkan bahwa pendidikan adalah suatu usaha yang dilakukan untuk mengembangkan kemampuan dan kepribadian individu melalui proses atau kegiatan tertentu (pengajaran, bimbingan atau latihan) serta interaksi individu dengan lingkungannya untuk mencapai manusia seutuhnya (insan kamil). Usaha yang dimaksud adalah suatu tindakan atau perbuatan yang dilakukan secara sadar dan terencana, sedangkan kemampuan berarti kemampuan dasar atau potensi. Asumsinya, setiap manusia mempunyai potensi untuk dididik dan dapat mendidik. Aspek kepribadian menyangkut tentang sikap, bakat, minat, motivasi, dan nilai-nilai yang melekat pada diri seseorang (Arifin, 2013).
Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab I pasal I ayat (1) dikemukakan bahwa:
“ pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.”
Dalam pengertian tentang pendidikan yang tercantum dalam UU tersebut terdapat beberapa implikasi, yaitu :
1)   Pendidikan merupakan usaha sadar. Artinya, berbagai tindakan yang dilakukan pendidik kepada peserta didik harus dilakukan secara sadar atau sengaja. Kesadaran tersebut hakikatnya bukan hanya tertuju kepada pendidik, tetapi kepada semua pihak yang merasa terpanggil dan berkepentingan dengan pendidikan, baik pemerintah, masyarakat, orang tua maupun peserta didik itu sendiri. Kalau hanya menuntut pendidik saja melakukan usaha sadar, tentu hasil pendidikan tidak akan optimal.
2)   Pendidikan harus dilakukan secara terencana. Artinya, pendidikan harus disusun dalam suatu program. Program pendidikan tersebut harus dibuat perencanaannya secara komprehensif yang melibatkan semua komponen-komponen pendidikan, antara lain: tujuan pendidikan, kurikulum, pendidik dan tenaga kependidikan, peserta didik, sarana dan prasarana, dana/biaya pendidikan, manajemen pendidikan, masyarakat, dan evaluasi pendidikan.
3)   Pendidikan harus dapat mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran yang kondusif. Untuk itu, pendidik harus menguasai berbagai strategi dan media pembelajaran, teknik berkomunikasi yang bersifat multiarah, dan memanfaatkan sumber daya yang ada secara optimal sehingga peserta didik tidak merasa jenuh. Untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran yang kondusif, kreatif, dan konstruktif bukanlah suatu perbuatan yang mudah. Hal ini menuntut kemampuan, kesadaran, dan kesabaran seseorang pendidik, apalgi untuk memenuhi kebutuhan setiap peserta didik. Disinilah pentingnya seseorang pendidik harus memiliki berbagai kompetensi, seperti profesional, pedagogik, personal, dan sosial.
4)   Pendidik harus melibatkan peserta didik untuk aktif mengembangkan potensi dirinya. Asumsinya, setiap peserta didik merupakan makhluk yang aktif dan mempunyai potensi dasar untuuk ditumbuh-kembangkan. Tugas pendidik adalah mengaktifkan peserta didik, baik secara fisik, mental intelektual, emosional maupun sosialnya, sehingga potensi dirinya dapat tumbuh dengan lebih baik.
5)   Pendidikan harus mengarahkan peserta didik untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendallian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Implikasinya, isi pendidikan/kurikulum harus mencakup semua kegiatan dan pengalaman yang memungkinkan peserta didik untuk menguasai aspek-aspek tersebut.


2.2.            Kerangka Konseptual

Kebijakan sertifikasi guru yang digulirkan secara nasional semestinya berimplikasi positif terhadap peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia. Namun kenyataannya, perumusan kebijakan yang baik tidak akan dapat mencapai tujuan dan target jika dalam pelaksanaannya tidak efektif.
Konsep evaluasi program kebijakan memberi informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai kinerja kebijakan tersebut. Evaluasi juga memberi sumbangan pada klarifikasi dan kritik terhadap nilai-nilai yang mendasari pemilihan tujuan dan target, juga evaluasi memberi sumbangan pada aplikasi metode-metode analisis kebijakan lainnya. Jadi evaluasi kebijakan lebih menekankan pada kinerja kebijakan, khususnya pada pelaksanaan kebijakan publik.
Menurut Howlett dan Ramesh (dalam Nugroho, 2011: 676) mengelompokkan evaluasi menjadi tiga bagian yaitu :
1.  Evaluasi Administratif, yang berkenaan dengan evaluasi sisi administrative-anggaran, efisiensi, biaya dari proses kebijakan di dalam pemerintah yang berkenaan dengan;
a). Effort evaluation, yang  menilai dari sisi input program yang dikembangkan oleh kebijakan.
b). Performance evaluation, yang menilai keluaran (output) dari program yang dikembangkan oleh kebijakan.
c). Adequacy of performance evaluation or effectivennes evaluation, yang menilai apakah program dijalankan sebagaimana yang sudah ditetapkan.
d). Efficiency evaluation, yang menilai biaya program dan memberikan penilaian tentang keefektifan biaya tersebut.
e). Process evaluation, yang menilai metode yang dipergunakan oleh organisasi untuk melaksanakan program.
2.   Evaluasi judicial yaitu; evaluasi yang berkenaan dengan isu keabsahan hukum tempat kebijakan diimplementasikan, termasuk kemungkinan pelanggaran terhadap konstitusi, sistem hukum, etika, aturan administrasi negara, hingga hak asasi manusia.
3.  Evaluasi politik yaitu menilai sejauh mana penerimaan konstituen politik terhadap kebijakan publik yang diimplementasikan.

Berdasarkan teori tersebut, maka kerangka konseptual secara praktis mengenai program evaluasi sertifikasi guru pada Kantor Dinas Pendidikan Nasional Pemuda dan Olahraga Kota Kendari dapat dilihat pada gambar 2.4. berikut : (Terlampir)
 
2.1.            Hipotesis

Berdasarkan perumusan masalah, tujuan penelitian, peneliti sebelumnya, jurnal-jurnal yang dikemukakan dan teori-teori yang dikaji serta kerangka konseptual maka dapat disusun hipotesis sebagai berikut:
1.  Terdapat pengaruh signifikan secara simultan (bersama-sama) variabel evaluasi administrasi, judisial dan politik terhadap pelaksanaan sertifikasi guru;
2.    Terdapat pengaruh signifikan secara parsial (sendiri-sendiri)  variabel evaluasi administrasi, judisial dan politik terhadap pelaksanaan sertifikasi guru;
3. Variabel evaluasi administrasi yang mempunyai pengaruh terbesar/dominan terhadap pelaksanaan sertifikasi guru.